Minggu, 08 Juli 2012

OPTIMISME BAYI TABUNG

OPTIMISME BAYI TABUNG

Optimisme terhadap kemajuan teknologi kedokteran, terutama yang berhubungan dengan teknologi reproduksi semakin meningkat saja. Manusia selalu berharap, kemajuan teknologi kedokteran membawa semakin besar kebahagiaan. Salah satu contohnya adalah kemajuan teknologi kedokteran di bidang reproduksi yang bisa membantu pasangan suami istri memiliki keturunan biologis. Berita paling akhir dari Belgia menyebutkan bahwa klinik-klinik In-Vitro Fertilization (IVF) sudah mampu menghasilkan embrio yang bebas dari potensi kanker payudara. Berita ini pastinya disambut gembira oleh pasangan suami istri, bahwa anak yang dihasilkan dari perkawinan mereka akan terbebas dari potensi terjangkit penyakit kanker payudara.
Mungkin masih banyak pembaca yang awam – sama seperti saya – dengan beberapa istilah teknis. Karena itu, sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu istilah-istilah itu agar tulisan ini bisa dimengerti. Istilah IVF (kepanjangannya adalah In-Vitro Fertilization) digunakan untuk menyebut proses pembuahan di mana sel telur dibuahi oleh sperma, tetapi prosesnya terjadi di luar rahim (kalau terjadi di dalam rahim perempuan namanya fertilisasi in-vivo alias fertilisasi alamiah). In-Vitro sendiri diambil dari Bahasa Latin, yakni “di dalam tabung” (in = di dalam, vitro = tabung atau gelas). Itulah sebabnya mengapa bayi yang dihasilkan dari proses IVF disebut “bayi tabung”. Proses pembuahan di luar rahim atau pembuahan tidak alamiah ini ditemukan pertama kali oleh ahli fisiologi bernama Robert G. Edwards, peraih hadiah nobel bidang fisiologi kedokteran tahun 2010. Bayi pertama yang dihasilkan dari proses IVF diberi nama Louis Brown, lahir pada tahun 1978.
Kembali ke teknologi IVF. Karena pembuahan terjadi di luar rahim, maka pertama-tama para dokter mengamati secara saksama proses ovulasi pada perempuan (proses pelepasan sel telur ke dalam rahim). Selama proses ini, para ahli kemudian melepaskan atau mengambil ovum (telur) atau ova (beberapa telur) dari rahim perempuan tersebut dan kemudian membiarkannya dibuahi oleh sperma dalam sebuah medium cair di laboratorium. Jika pembuahan ini sukses dilakukan oleh sperma, maka akan dihasilkan telur yang sudah dibuahi (disebut zigot). Zigot yang berpotensi menghasilkan embrio inilah yang kemudian disuntikkan ke dalam rahim perempuan dengan maksud untuk menghasilkan kehamilan yang sukses.
Sebagai catatan, klinik-klinik IVF dapat melakukan pembuahan menggunakan sel telur dan sperma yang tidak harus berasal dari orang tua biologis. Bisa terjadi bahwa salah satu dari pasangan suami istri mengidap penyakit menurun tertentu yang membahayakan. Mereka bisa memutuskan bahwa pasangan yang sehat (suami atau istri) dapat membuahkan sel telur atau spermanya di klinik untuk menghasilkan keturunan mereka. Jika kasus ini terjadi maka anak yang dihasilkan memiliki hanya setengah (50 persen) gen yang sama dengan orangtuanya. Atau, bisa juga terjadi bahwa pasangan suami istri menjalani proses IVF, dan begitu Zigot sudah dihasilkan di klinik, zigot itu bisa disuntikkan ke rahim perempuan lain yang mereka sewa. Ini yang disebut surrogate mother. Anak yang dihasilkan tetap seratus persen anak biologis orangtuanya, tetapi dilahirkan oleh rahim sewaan.
Berita Gembira
Belgia termasuk salah satu dari banyak negara Eropa yang memiliki klinik IVF.  Berita terakhir yang dirilis oleh European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) menyebutkan bahwa para dokter di Belgia sudah mampu menghasilkan zigot yang bebas dari kemungkinan terjangkit penyakit kanker payudara. Sebagaimana kita ketahui, kanker payudara dihasilkan oleh gen-gen BRCA1 dan BRCA2. Itu artinya, dalam proses pembuahan sel telur oleh sperma di dalam tabung, sel telur terlebih dahulu diterapi (bahasa awamnya diutak-atik). Terapi sel telur dalam laboratorium ini dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan sel telur itu dari gen BRCA1 dan BRCA 2. Setelah terbebas, sel telur itu kemudian dibuahi oleh sperma. Nah, hasil pembuahan oleh sperma yang disebut zigot yang sudah terbebas dari BRCA1 dan BRCA2 inilah yang kemudian disuntikkan ke dalam rahim perempuan, bisa ibunya sendiri atau bisa juga rahim pinjaman.
Bahasa ilmiahnya disebut preimplantation genetic diagnosis (PGD). Artinya, sebelum sel telur dan sperma yang sudah menjadi zigot itu disuntikkan ke dalam rahim (implantation), diadakan terlebih dahulu (pre) diagnosa genetik. Dewasa ini PGD adalah proses normal untuk mendiagnosa tidak hanya penyakit kanker payudara (BRCA1 dan BRCA2), tetapi juga penyakit-penyakit turunan lain seperti down syndrome, hidrosefalus, dan sebagainya. Menurut laporan itu, para dokter Belgia sudah berhasil melakukan proses ini dan tingkat keberhasilannya sangat tinggi.
Tentu ini sebuah berita gembira, bahwa ke depan anak-anak yang dihasilkan dapat terbebas dari kemungkinan penyakit kanker payudara. Menurut Pharmacoeconomics (2009; 27 [30]: 199-209), biaya yang dibutuhkan bagi perawatan kanker payudara di Amerika Serikat (perawatan seumur hidup) mencapai 20.000–100.000 US Dollar, tergantung pada tingkat keparahan penyakit tersebut. Kenyataan ini membuat kita mengerti mengapa keberhasilan para dokter Belgia ini disambut sebagai berita gembira. Pemerintah negara-negara yang menanggung hampir atau seluruh biaya kesehatan warganya tentu juga sangat senang atas kemajuan dan keberhasilan teknologi ini.
Tidak hanya di Belgia. Harian Sydney Morning Herald juga memberitakan bahwa 10 pasangan suami istri di Sydney telah memanfaatkan PGD sejak tahun 2008 untuk mengetes kemungkinan terjangkitnya kanker payudara. Masih menurut harian ini, semakin hari permintaan akan tes PGD semakin tinggi, karena itu biaya yang dikenakan oleh klinik-klinik IVF pun semakin mahal. Di Australia sendiri biaya IVF plus PGD untuk satu kali siklus berkisar antara 35.000–70.000 Dollar Australia. Jangan lupa, ini biaya untuk satu siklus treatment. Supaya berhasil, pasangan suami istri bisa melewati beberapa kali siklus treatment
Keterbatasan Teknologi
Tentu kemajuan teknologi IVF ini membawa berita gembira bagi manusia. Tetapi pro dan kontra terhadap penerapan teknologi ini tetap saja ada. Kaum beragama akan mengatakan bahwa treatment PGD maupun IVF sendiri tidak bisa dibenarkan karena manusia campur tangan dalam proses penciptaan Tuhan. Kaum beragama ini percaya bahwa kehidupan itu hanya berasal dari Tuhan, karena itu manusia seharusnya menerima saja anugerah itu, tidak boleh ada campur tangan, sekecil apa pun.
Sementara itu, kaum liberal akan beranggapan bahwa campur tangan manusia dalam proses penciptaan ini justru tidak bertentangan dengan rencana dan kehendak Tuhan. Ketika menciptakan manusia, Tuhan menganugerahkan kepadanya kemampuan akal budi. Dengan kemampuan akal budi ini manusia menghasilkan teknologi yang membawa kebaikan bagi dirinya dan sesamanya. Jika Tuhan yang baik itu menginginkan manusia berbahagia, maka teknologi yang mendatangkan kebahagiaan seharusnya juga direstui oleh Tuhan.
Kita tidak usah masuk ke dalam diskusi yang panjang lebar dan belum tentu cepat selesai ini. Yang harus diingat adalah bahwa teknologi, secanggih apa pun, tetap memiliki keterbatasan. Dalam kasus IVF dan PGD yang diangkat di sini, marilah kita selalu mengingat, bahwa PGD untuk mendeteksi gen-gen pewaris kanker payudara (BRCA) belum berhasil secara seratus persen memisahkan gen-gen tersebut dari susunan genetik manusia. Para ahli mencatat, bahwa meskipun gen BRCA sudah diisolasi dan dipisahkan dari susunan genetik, kemungkinan perempuan terjangkit kanker payudara masih sebesar 10 persen. Bahkan tingkat risiko terjangkit kanker payudara BRCA 1 masih mencapai 30-60 persen dan BRCA2 mencapai 5-20 persen. Ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa kanker payudara dan kanker rahim termasuk jenis penyakit late onset,  artinya sulit terdeteksi sebelumnya alias orang yang terjangkit penyakit ini sebelumnya hidupnya tampak baik dan sehat-sehat, tetapi begitu terkena, penyakitnya sudah langsung parah dengan tingkat keparahan yang semakin meningkat. Memang masih ada optimisme besar bahwa ke depan teknologi ini akan semakin canggih dan keberhasilannya pun akan semakin baik. Meskipun demikian, sekecil apa pun persentase kegagalannya, kita diingatkan untuk berhati-hati. Bahwa teknologi memiliki keterbatasan persis ketika manusia yang menciptakan teknologi itu sendiri pun bersifat terbatas.
Catatan lain menyangkut masalah etika, terutama masalah keadilan. Jika kemudian klinik-klinik PGD dan IVF tersebar luas di masyarakat, sudah pasti tidak semua masyarakat sanggup memanfaatkannya. Mengingat biayanya yang sangat mahal, pasti jenis pengobatan ini hanya bisa dimanfaatkan oleh orang-orang kaya. Itu artinya pasangan suami istri miskin yang memiliki masalah dengan kesuburan tetapi menginginkan anak hasil biologis sendiri akan sulit memanfaatkan teknologi semacam ini. Apakah kaum miskin tidak berhak memiliki keturunan, padahal memiliki keturunan adalah hak asasi manusia? Dalam arti itu, campur tangan pemerintah merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.