Senin, 04 Juni 2012

Endeh dan Istana Negara 76 Tahun Kemudian

Suatu malam sekitar pukul 19 bulan Desember 1980 saya ngobrol dengan seorang psikolog berusia 30 tahun di sebuah kedai makanan di Semarang.  Saat kami makan dan minum sambil memandang kelap-kelip lampu kota Semarang di malam hari, datang dua Taruna Akademi Kepolisian ke kedai tersebut, mereka sama dengan kami makan minum menikmati udara malam kota Semarang.  Kawan saya bilang “Lihat Taruna itu, mereka itu sebenarnya ‘anak kecil’ dibanding kita”.  Maksud kawan saya usia kedua Taruna Akpol itu paling baru sekitar 21 tahun, tentu jauh lebih muda dibanding kami yang berusia antara 25 - 30 tahun, padahal sikap keduanya terlihat matang.
Berdasarkan pengamatan saya di pelbagai komunitas yang saya ikuti tingkah laku kita memang tergantung situasi, kondisi dan lingkungan kita.  Suatu saat mungkin saya akan berperilaku macam anak-anak muda, berbicara lu-gue dengan teman-teman sebaya semasa SD - SMA, karena situasi puluhan tahun lalu masih mempengaruhi saya dan teman-teman merasa seolah-olah masih muda.  Tentu tak semua orang dapat menerima situasi lu-gue macam ini, satu dua orang teman yang merasa punya jabatan tinggi di Pemerintahan terlihat jaim (jaga imej) pada sebuah reuni dan teman-temannya tersenyum kecut melihat cara mereka bicara dengan gaya seorang atasan.
Di dunia musik saya pernah melihat  seorang  rocker gaek asal Jawa Timur masih berpakaian ala rocker di usia 60an saat diwawancara sebuah majalah, entah ia masih aktif bermain band entah gaya berpakaian demikian sudah melekat dengan kebiasaan dia sehari-hari.  Sebaliknya saya perhatikan seorang penyanyi dangdut yang saat mudanya bermain musik rock, makin tua makin terjaga ucapannya, mungkin menyesuaikan diri dengan usia, mungkin menjaga citra dia sebagai seorang ayah.
Makanya tak heran membaca berita di Tempo.co bahwa seorang pemuja Lady Gaga berusia 35 tahun bangga berjuluk little monster dan turut berunjuk rasa di depan Istana Negara hari Minggu 3 Juni 2012.  Mereka membagikan pamflet bertulisan “There is nothing holy about hatred“; “Wish we have a voice in this country“; dan “Where is our freedom of confession“.  Wow pakai bahasa Inggris pula.
Tak terlalu salah rasanya menyangka tingkah laku seseorang tergantung pada lingkungannya, sayapun membayangkan Bung Karno saat berusia 35 tahun atau sekitar tahun 1936, sudah malang melintang di dunia perpolitikan Hindia Belanda, mendekam di Endeh - Flores sebagai tahanan politik dan 9 tahun kemudian pada usia 45 tahun dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Di lain kesempatan seorang Professor Universitas Mumammadiyah menasihati setelah usia 30 tahun tidak ada shalat wajib yang ditinggalkan, setelah usia 40 tahun tidak meninggalkan shalat Rawatib dan setelah usia 50 tahun taka ada shalat malam yang terlewatkan. Maaf nasihat ini tentu hanya untuk yang Muslim saja.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.  Lain zaman lain pula perilaku orangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar